Selamat Datang!

Di Blog Myasthenia Gravis Indonesia


**Perhatian**
  • Blog Myasthenia Gravis Indonesia bukan blog resmi dari Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia. 
  • Blog ini merupakan kumpulan informasi mengenai Myasthenia Gravis dari berbagai media. Sifat blog ini hanyalah mengulang sebanyak-banyaknya informasi mengenai Myasthenia Gravis.
  • Blog ini tidak melalukan penggalangan dana dalam bentuk apapun. Kami tidak membuka rekening atas nomor manapun. Untuk donasi anda bisa salurkan ke Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (www.mgindonesia.org).

Anda yang baru pertama kali mendengar tentang Myasthenia Gravis di Indonesia mungkin penasaran dan ingin tahu penyakit apa ini, berikut adalah ulasannya.

Myasthenia Gravis secara bahasa artinya kelemahan otot serius. Kata Myasthenia Gravis berasal dari bahasa Yunani, Myo (μυο) artinya "otot", asthenia (ἀσθένεια) artinya "kelemahan", dan dari bahasa Latin, gravis artinya "berat atau serius".

Sedangkan secara istilah, Myasthenia Gravis adalah penyakit autoimun, artinya sistem imun dalam tubuh yang seharusnya melindungi diri malah berbalik menjadi menyerang organ dalam tubuh terutama sambungan antara saraf dengan otot (neuromuscular junction).

Myasthenia Gravis adalah suatu penyakit autoimun yang mengerikan, menyerang hampir semua otot dan dapat membuat orang menjadi cepat lelah dan lemah, kesulitan berjalan, pandangan dobel, kelopak mata turun, tidak bisa mengunyah dan menelan, dan juga sesak nafas.

Ciri khas Myasthenia Gravis adalah otot akan semakin lemah saat sedang beraktivitas walaupun itu aktivitas ringan, dan akan membaik saat sedang istirahat.

Myasthenia Gravis disebut juga dengan snowflake diseases karena gejala pada tiap penderitanya tidak sama. Karenanya ada MGers yang bisa tetap beraktifitas, bahkan sanggup lari marathon. Namun ada juga MGers yang sepanjang waktu dirawat di rumah sakit.
____
Arsip Media
PasienSehat

Kelopak Mata Tiba-tiba 'Jatuh', Waspada Penyakit Langka Miastenia Gravis

Pada awalnya, penderita Miastenia Gravis (MG) atau sering disebut MGer, mungkin tidak menyadari bahwa kelopak matanya turun dengan sendirinya. Tapi semakin lama, penyakit langka ini akan semakin menyiksa, bahkan hingga mengancam jiwa.

Mungkin belum banyak yang mendengar tentang penyakit Miastenia Gravis (Myasthenia Gravis/MG). Penyakit ini memang langka, namanya pun unik. Namun sekali terkena, penderitanya harus berjuang seumur hidup untuk melawan penyakit autoimun ini.

MG merupakan gangguan autoimun yang merusak paut saraf otot yang mengakibatkan kelemahan otot. Penyebabnya berhubungan dengan gangguan pada sistem kekebalan tubuh atau autoimun.

Pada MG, sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang salah satu jenis reseptor pada saraf otot, sehingga terjadi gangguan pada transmisi saraf-otot, yang berakibat terganggunya kontraksi otot.

"Gejala yang paling sering adalah pada otot mata (tipe okular), jadi kelopak mata tiba-tiba turun, bisa di salah satu mata atau keduanya. Bisa juga penglihatan jadi double," jelas Dr. Ahmad Yanuar, SpS, spesialis saraf dari RSCM dalam acara Talkshow 'Hidup Berkualitas dan Produktif Dengan Myasthenia Gravis' di Gedung A RSCM, Jakarta, Minggu (15/4/2012).

Gejala awal MG yang khas adalah kelemahan otot yang menyerupai kelelahan. Kelemahan otot ini biasanya dapat membaik jika otot diistirahatkan.

Tak hanya di mata, MG bisa mempengaruhi segala otot di seluruh tubuh, termasuk otot wajah, leher, tenggorokan, lengan atas, paha bahkan yang mengancam jiwa jika mempengaruhi kelemahan pada otot dada yang mengakibatkan gagal napas.

Gejala-gejala yang khas pada MG antara lain:
1. Kelopak mata 'jatuh' (ptosis)
2. Pandangan kabur atau penglihatan ganda (diplodia) karena otot yang mempengaruhi gerakan mata terpengaruhi
3. Kesulitan menelan
4. Kesulitan bicara, tiba-tiba sengau atau cadel
5. Kepala lunglai
6. Kesulitan senyum
7. Kesulitan mengangkat lengan ke atas kepala
8. Kesulitan berdiri dari posisi duduk
9. Kesulitan menaiki tangga
11. Memendeknya pernapasan pada saat menghembuskan napas
12. Kesulitan bernapas pada tidur telentang
13. Jika kondisinya berat, seluruh pernapasan dapat terhenti.

Setiap penderita MG berbeda dalam hal tingkat keparahan dari kelemahan ototnya. Pada beberapa MGer, hanya otot mata yang terpengaruh.

"Yang perlu diperhatikan adalah pasien MG harus menghindari stres dan kelelahan, karena itu bisa memicu kekambuhan," lanjut Dr Yanuar.

Terlalu sedih, stres, kelelahan, marah atau terlalu gembira bisa mengakibatkan penderita MG mengalami kekambuhan bahkan sampai mengalami gagal napas karena saraf-saraf napas tidak bisa bergerak.

Agar tetap bisa produktif dan hidup berkualitas, Dr Yanuar memberikan beberapa saran bagi penderita MG, yaitu:
1. Harus menyesuaikan diri dengan penyakit
2. Minum obat teratur
3. Hindari stres dan kegiatan yang menyebabkan kelelahan
4. Hati-hati bila terkena infeksi
5. Hati-hati minum obat, terutama antibiotik.
____
Arsip Media
Ditulis oleh Merry Wahyuningsih - detikHealth

Terkena Penyakit Langka, Wanita Ini Tidak Bisa Tersenyum

Amy Guy, seorang wanita berusia 30 tahun asal Southampton, mengidap penyakit Myasthenia Gravis. Dianggap sangat langka, kondisi ini pun disebut-sebut mengancam kehidupannya.

Myasthenia gravis merupakan kondisi autoimun yang cukup langka. Penyakit ini memengaruhi dan menyerang sel atau otot-otot yang bergerak secara spontan seperti pada kelopak mata, mengunyah, berbicara, hingga ekspresi wajah. Penyakit ini salah satunya menyebabkan lemahnya otot wajah dalam mengendalikan ekspresi. Otot juga akan semakin melemah jika pengidapnya terlalu banyak beraktivitas.

Ibu dari dua orang anak ini baru berumur 14 tahun saat pertama kali kehilangan kemampuan untuk tersenyum dan tidak dapat disembuhkan. Pertama kali Guy didiagnosis mengidap Myasthenia Gravis, ia tiba-tiba kolaps dan dilarikan ke rumah sakit. Tiga bulan setelah diagnosis, Guy merasa sakitnya kambuh sampai akhirnya ia harus duduk di kursi roda.

Untuk beberapa waktu Guy merasa bahwa Guy sedang tersenyum, tetapi orang lain melihat ekspresi wajahnya bukan tersenyum melainkan meringis. Salah satunya adalah saat hari pernikahannya.

Pernikahan mungkin akan menjadi hari terindah di dalam kehidupan seorang wanita. Tetapi, Guy justru berekspresi masam di dalam pernikahannya. Ini bukan karena ia tidak bahagia dengan pernikahannya. Guy tidak bisa tersenyum lantaran efek dari penyakit yang diidapnya itu.

"Pernikahan merupakan salah satu hal terindah dalam hidup saya, tetapi saya terlihat begitu sengsara," ujar Guy seperti dikutip detikHealth dari Daily Mail dan ditulis pada Senin, (6/10/2014).

Saat baru melahirkan anak-anaknya, Guy juga berekspresi masam atau sengsara, padahal sebenarnya tidak demikian. Di dalam hati ia merasa sangat senang dan merasa kalau dirinya sedang tersenyum, tetapi ekspresi yang dikeluarkan justru sebaliknya. "Beruntungnya aku, meskipun kondisiku seperti ini, anakku Megan lahir dengan sehat," imbuh Guy.

Karena kondisinya ini, ada hari-hari ketika Guy bisa berjalan dan tersenyum, dan ada juga hari-hari di mana ia sama sekali tidak bisa bangun dari tempat tidur.

"Pada awalnya, pengobatan tidak berjalan dengan baik. Aku juga sempat menjalani operasi yang sedikit membantu, tetapi setelahnya saya kadang-kadang aku tetap tidak bisa tersenyum, mataku layu, bahkan aku juga tidak bisa menggerakkan kaki dan tangan saya dengan baik," tutur Guy.

Guy juga sempat didiagnosis bahwa ia mungkin tidak akan memiliki kekuatan untuk punya anak dan melewati masa kehamilan. Tetapi, ia tidak pernah putus berharap bahwa ia akan memiliki keluarga yang utuh dan bahagia. Harapannya ini akhirnya tercapai saat ia menikah di usia 23 tahun.

"Ketika wajahku tidak bisa mengekspresikan rasa bahagiaku, tetapi anak-anakku tahu bahwa di dalam hati aku sedang tersenyum," kisah Guy.

Meskipun akhirnya ia bercerai dengan suaminya, Guy tetap mampu berjuang untuk membesarkan kedua putrinya sendirian, yaitu Megan yang berusia 14 tahun dan Teagan yang berusia 4 tahun. Anak-anaknya juga sangat mengerti kondisi ibunya. Mereka bertiga bahkan sudah memiliki cara berkomunikasi khusus untuk memahami satu sama lain.

Kondisi yang terbatas tidak lantas menghalangi Guy untuk berjuang meraih cita-citanya. Selama 20 tahun Guy berjuang untuk mendirikan dan mengembangkan Myasthenia Gravis (MG) Association. Saat ini Guy juga tengah menulis autobografinya sendiri dan ia juga menghasilkan dana untuk penelitian mengenai myasthenia gravis.

"Aku ingin menunjukkan kepada anak-anakku, bahwa meskipun kita memiliki keterbatasan, itu bukan menjadi halangan untuk meraih mimpi-mimpi kita," kata Guy.
____
Arsip Media
Ditulis oleh Ghea Rianti Purnamasari - detikHealth

Telat Minum Obat, Mulut Gadis Ini Terkunci

Catur Wulandari (25), seorang mahasiswi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) asal Dusun Sambirejo, Kecamatan Kota, Kabupaten Trenggalek terserang penyakit myasthenia gravis. Penyakit ini tergolong langka yang menyerang otot dan syaraf, serta mengakibatkan kelumpuhan.

Catur Wulandari kini tergolek lemah di ruang Seruni RSUD dr Soedomo Trenggalek, dengan tubuh kurus kering seberat 29 kilogram. Padahal dengan tinggi 170 cm, berat idealnya 60 kilogram. Meski dengan suara sangat lirih, namun Catur masih bisa bercerita mengenai penyakitnya.

Menurut putri keempat pasangan Saijo (62) dan Untari (57) ini, sakitnya terjadi sejak tahun 2007 silam. Saat itu, dirinya duduk di semester 6 sedang praktik mengajar (PPL) di SMAN 1 Situbondo. Awalnya, Catur mengeluh matanya yang mulai kabur. Sakit itu menjalar ke kakinya dan membuat tidak bisa berjalan. Dan lama kelamaan Catur lumpuh total.

Akibat sakit ini, Catur dibawa ke RSU Dr Soetomo Surabaya dan didiagnosis terkena myasthenia gravis. “Awalnya hanya mata yang susah digerakkan, lalu menjalar ke seluruh tubuh dan menjadi lumpuh total,” ceritanya.

Sementara Saijo mengatakan, Catur sempat dirawat di RSU Dr Soetomo selama 15 hari. Namun lantaran kehabisan biaya, anak bungsunya itu dibawa kembali ke Trenggalek. Kini Catur dirawat dengan fasilitas Jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat). Selama sakit ini, Catur harus minum obat tepat waktu. Jika telat atau kelupaan, mulutnya tidak bisa dibuka sama sekali alias terkunci.

Untuk makan selama ini Catur hanya mengonsumsi tahu mentah dihaluskan, tajin (air rebusan beras) dan air putih. Itu pun dengan perjuangan yang sangat luar biasa. Sebab syaraf telannya terasa nyeri, setiap kali menelan makanan atau minum.

Saijo menambahkan, dirinya sangat berharap anaknya bisa disembuhkan. Sebab Catur anak yang cukup pandai dan berprestasi sejak masih SMA. Saat masuk ke Unesa tahun 2004 silam, Catur lolos melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Selama mengenyam pendidikan di Unesa, Catur pun mendapat beasiswa prestasi lantaran selalu menduduki jajaran peringkat terbaik di angkatannya. Di luar bidang akademik, Catur selama kuliah tercatat sebagai salah satu atlet pencak silat Perisai Diri. “Semoga dia lekas sembuh dan bisa mengejar cita-citanya lagi,” harapnya.

Dokter Gatot Subroto, dokter syaraf yang menangani Catur menjelaskan, myasthenia gravis merupakan penyakit langka. Penyakit ini biasanya menyerang 1 di antara 100.000 orang, dan kebanyakan menyerang kaum wanita. Penyakit ini melumpuhkan neuromuscular yang memproduksi acethylcholin atau zat yang menggerakkan otot. Akibatnya tubuh pasien tak bisa digerakkan. Untuk mengatasinya, pasien harus mengonsumsi obat mestinon seumur hidup. Obat ini tergolong mahal, berkisar Rp 6.000 per butirnya.

Gejala awalnya atau stadim I, biasanya salah satu kelopak mata susah digerakkan. Pada stadium II, kedua kelopak mata sama-sama susah digerakkan. Stadium III, otot-otot tubuh lainnya mulai diserang. Sampai pada stadium IV, korban sudah lumpuh total. Pada kondisi ini kemungkinan pasien dapat terserang di bagian otot-otot pernafasan dan mengalami gagal nafas yang berujung pada kematian. “Catur sudah masuk pada stadium IV, dan dari rekam mediknya dia sudah pernah gagal nafas,” terang Gatot.

Masih menurut Gatot, untuk memulihkan kesehatan Catur, tim dokter saat ini fokus untuk meningkatkan gizinya. Sebab penderita myasthenia gravis mempunyai metabolisme tinggi sehingga makanan cepat dibakar dan tidak disimpan dalam tubuh. Jika beratnya sudah mencapai angka ideal, pasien akan dilanjutkan dengan terapi syaraf dan otot.
____
Arsip Media
TribunNews

Kenali Gejala Kelainan Neurologis

PENYAKIT akibat kelainan neurologis apa pun penyebabnya, umumnya memiliki gejala klinis yang hampir sama, termasuk guillain barre syndrome (GBS) dan myasthenia gravis (MG). Kedua penyakit ini mulai sering ditemukan.

Belakangan ini, kasus penyakit GBS dan MG semakin sering terjadi. Jika sudah menyerang manusia, penyakit kelainan neurologis ini akan mengganggu mobilisasi berat pasien pada orang dalam masa produktif. Apalagi, jumlah penderitanya semakin lama semakin meningkat setiap tahunnya.

Pada periode 2010–2011, data jumlah penderita GBS di RSCM sebanyak 48 kasus dari berbagai varian. Sementara prevalensi MG diperkirakan sekitar 0,5–14,2 kasus per 100.000 orang. Prevalensi autoimun MG diperkirakan 1 kasus dari 10.000–20.000 orang. Data di RSCM selama periode 2010–2011 menunjukkan terdapat 94 kasus MG.

”Berbagai bentuk klasifikasi GBS dan MG yang berbeda memiliki perjalanan klinis,harapan pemulihan, dan pengobatan yang berbeda,” kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) Cabang Jakarta, dr Darma Imran SpS(K) saat temu media dalam rangka simposium bertema Peripheral Nerve Disorder Symposium Focus on Guillain-Barre and Myasthenia Gravis di Hotel Mulia, Jakarta.

Darma menuturkan, kasus GBS dan MG memang tidak tinggi frekuensinya. Penyakkit ini juga dapat sembuh sempurna dengan diagnosis dini. Pasien dengan keluhan kelumpuhan dan kelainan neurologi lainnya harus segera diperiksa oleh dokter spesialis saraf.

”Pemeriksaan klinis dan menggunakan alat elektrodiagnostik yang dikerjakan oleh dokter spesialis saraf dapat membedakan berbagai keluhan neurologi yang mirip,” ucapnya.

Dr Manfaluthy Hakim SpS (K), Kepala Divisi Neurofisiologi Klinik dan Penyakit Neuromuskular, Departemen Neurologi FKUI-RSCM menjelaskan, GBS merupakan gangguan imunologi yang menyebabkan kelainan saraf perifer sehingga terjadi kelumpuhan ekstremitas secara asenden dan simetris. GBS merupakan salah satu gangguan neuroimunologi yang menjadi penyebab tersering paralisis flacidsetelah era penyakit polio.

Gejala awal pasien GBS, lanjut dia, adalah rasa kesemutan yang menjalar mulai ujung-ujung jari tangan dan kaki, hingga menyebar ke bagian tubuh lain yang pada akhirnya menyebabkan kelumpuhan.

”Untuk mendiagnosis penyakit GBS, selain dengan gejala yang timbul dan analisa cairan otak, juga dilakukan pemeriksaan EMG dan kecepatan antar saraf di mana akan memberikan informasi pada awal gejala penyakit,” sebut Manfaluthy.

Sementara, MG adalah gangguan autoimun yang merusak paut saraf otot yang mengakibatkan kelemahan otot. Penyebabnya berhubungan dengan gangguan pada sistem kekebalan tubuh. Pada pasien MG, sistem kekebalannya menghasilkan antibodi yang menyerang salah satu jenis reseptor pada paut saraf otot sehingga terjadi gangguan pada transmisi saraf-otot, yang berakibat terganggunya kontraksi otot.

Manfaluthy mengemukakan, gejala MG secara umum adalah berupa kelemahan yang hilang timbul, kelemahan timbul saat lelah dan membaik setelah beristirahat atau saat bangun tidur. Pasien akan merasakan menurunnya kelopak mata pada salah satu mata atau kedua mata dan penglihatan ganda. Pada jenis MG umum, pasien merasakan kelemahan pada sebagian besar otot tubuh.

“MG perlu mendapat perhatian serius karena sekitar 15–20% pasien mempunyai risiko mengalami episode krisis miastenia yang mengancam jiwa dalam dua tahun setelah terdiagnosis,” ungkapnya.

Pemulihan, perbaikan, dan outcome pasien kelainan neurologis ditentukan oleh kecepatan dalam memberikan terapi. Dengan demikian, perlu menegakkan diagnosis sedini mungkin. Jenis terapi yang direkomendasikan pada pasien GBS saat ini adalah dengan pemberian intra vena imunoglobulin (IvIG) dan plasmapharesis (pengambilan antibodi yang merusak dengan jalan penggantian plasma darah). Pada terapi pasien MG, diketahui bahwa gejala MG selain diduga berhubungan dengan penyakit autoimun, juga berhubungan dengan kelenjar thymus yang seharusnya akan menghilang setelah melewati masa anak-anak.

Pada beberapa orang, kelenjar thymus persisten akan tumbuh menjadi suatu bentuk tumor yang jinak (timoma). Pada pasien MG dengan timoma, dianjurkan untuk dilakukan operasi pengangkatan tumor tersebut, selain minum obat yang teratur sesuai anjuran dokter. Jenis obat yang biasa diminum adalah pyridostigmin bromide dalam bentuk tablet. Selain itu, pasien MG juga harus memperhatikan beberapa faktorfaktor yang dapat memperberat gejala seperti kelelahan akibat aktivitas fisik yang berlebihan, udara yang sangat panas, dan lain-lain.

Darma mengatakan, kendala penanganan GBS dan MG adalah biaya pengobatannya yang relatif mahal. Sampai saat ini, asuransi pemerintah dan swasta belum mau menanggung perawatan kedua penyakit ini secara lengkap.

”Untuk IvIG misalnya,setiap sekali pemberian biayanya sekitar Rp20 juta hingga Rp25 juta per hari,” tutupnya.
____
Arsip Media
Ditulis oleh SINDO - Okezone

Diserang Penyakit Aneh, Wanita Muda Lumpuh Total

Awalnya, Catur Wulandari (25) hanya merasa pengelihatannya kabur. Untuk melihat obyek di hadapanya, warga Dusun Sambirejo, Desa/Kecamatan Trenggalek, Jawa Timur ini sampai memicingkan mata.

Jika tidak, dia terpaksa mendekatkan diri kepada obyek yang diinginkan. Namun lama-kelamaan kakinya juga sulit digerakkan. Jalannya mulai tertatih-tatih. Namun dia terus memaksakan diri melawan keterbatasan yang menyerangnya.

Di saat yang sama, bobot tubuhnya terus menurun. Catur lumpuh total. Sekujur raganya tidak bisa digerakkan. Bahkan, ketika terlambat mengkonsumsi obat, mulut anak pasangan suami istri Saijo (62) dan Untari (57) ini sampai kaku.

“Saat ini berat tubuhnya tinggal 29 kilogram. Idealnya 50 kilogram mengingat tinggi tubuhnya 170 sentimeter,” terang Saijo, Jumat (21/1/2011).

Catur kini hanya bisa terbujur lemah di Ruang Seruni RSUD dr Soedomo Kabupaten Trenggalek. Dia dirawat sejak Senin 17 Januari lalu. Sebelumnya Catur sempat dirawat selama 15 hari di rumah sakit yang sama. “Karena tidak ada biaya, akhirnya kami memutuskan membawanya pulang,“ tutur Saijo.

Berdasarkan keterangan medis, Catur mengidap myastenia gravis. Penyakit yang disebabkan virus ini menyerang antara syaraf dan otot manusia. Sejak tahun 2007 Catur mengalami kelumpuhan. Seluruh masa depan sebagai mahasiswi semester enam di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) berakhir sudah.

Untuk makan, Catur bergantung pada asupan yang berasal dari tahu mentah yang dihaluskan. Proses menelan makanan ini pun tidak mudah. Sebab syaraf telanya selalu merasakan nyeri dan pedih setiap menelan makanan. Kendati demikian, Catur masih bisa berkata-kata meski suara yang dikeluarkannya lirih.

“Sebelum dirawat di rumah sakit air rebusan beras (tajin) dan air putih menjadi minumnya,“ papar Saijo.

Menurut keterangan ahli syaraf dr Gatot Subroto, myastenia gravis merupakan kategori penyakit langka. Penyakit ini biasanya menyerang satu di antara 100.000 orang. Sebagian besar penderita adalah kaum perempuan.

“Dalam kasus yang terjadi, seringkali kaum wanita yang terserang. Namun bukan berarti kaum laki-laki tidak bisa terserang,” terang Gatot.

Secara medis, myastenia gravis melumpuhkan neuromuscular yang berfungsi menghasilkan acethylcholin atau zat yang menggerakan otot. Akibat serangan itu tubuh pasien tak bisa digerakkan. Untuk mengatasinya, pasien harus mengkonsumsi obat mestinon seumur hidup. “Obat ini tergolong mahal karena harganya Rp6.000 per butir,” sebutnya.

Gejala awal (stadium satu) myastenia gravis, salah satu kelopak mata susah digerakkan. Pada stadium dua sepasang kelopak mata, sama-sama tidak bisa digerakkan. Otot mulai diserang dan korban mulai mengalami lumpuh total. “Ini terjadi pada stadium tiga dan empat,” sambungnya.

Yang perlu diantisipasi pada serangan stadium empat seperti yang terjadi pada pasien Catur, jangan sampai otot pernafasan terserang. Sebab serangan tersebut bisa mengakibatkan gagal nafas yang berujung pada kematian.

“Rekam medik pasien Catur pernah mengalami gagal nafas. Untung masih bisa terselamatkan,” imbuhnya.

Saat ini yang dilakukan petugas medis adalah meningkatkan gizi pasien. Sebab, pengidap myastenia gravis memiliki metabolisme tinggi di mana makanan cepat terbakar dan tidak sempat tersimpan dalam tubuh. “Setelah berat tubuhnya ideal, baru dilanjutkan terapi syaraf dan otot,” ujarnya.
____
Arsip Media
Ditulis oleh Solichan Arif - Okezone

Sampai Kapan Penderita Myasthenia Gravis Harus Minum Mestinon?

Saya pada tahun 2002 mengalami gangguan kesehatan, dimana kelopak mata saya kadang-kadang tiba-tiba saja memejam dan tidak bisa membuka, namun bila didiamkan beberapa saat akan bisa dibuka perlahan-lahan. Menurut dokter saraf yang memeriksa setelah dilakukan tes EMG saya terkena Myastenia Gravis. Kemudian diberi obat mestinon dan diminum selamanya.

Lama-lama ternyata ada efek samping pada maag yang terasa asam meskipun sesudah makan minum obatnya. Pertanyaan saya, apakah penyakit ini bisa disembuhkan? Atau ada cara lain penyembuhannya selain minum mestinon? Mohon sarannya. Terimakasih.

Sjahroel S (Pria Menikah, 57 Tahun), roelXXXX@telkom.net
Tinggi Badan 174 Cm dan Berat Badan 70 Kg

Jawaban

Sdr. Sjahroel Yth,
Memang benar bahwa kami bisanya memberikan mestinon pada kasus-kasus myasthenia gravis. Dan bila ada efek mual, Anda dapat membelah obat tersebut menjadi 2. Diminum separuhnya dulu dan sisanya diminum 1-2 jam kemudian atau 2-3 jam sebelum mestinon dapat diminum obat obat seperti omeprazole atau pantoprazole.

Mengenai myasthenia gravis, bila gejala sudah hilang Anda dapat berkonsultasi lagi dengan spesialis saraf Anda , agar dilakukan penyesuaian dosis. Dan bila berhasil Anda dapat terbebas dari keharusan minum obat setiap hari, walaupun kelak bila gejala tersebut datang lagi maka anda harus kembali meminumnya. Terimakasih.

Dr. Fritz Sumantri Usman Sr,SpS, FINS
Dokter Neurologist & Interventional Neurologist (Ahli Penyakit Saraf dan Saraf intervensi). Praktik di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jl RS Fatmawati, Cilandak Jakarta Selatan. Telpon 021-7501524.
____
Arsip Media
Ditulis oleh Irna Gustia - detikHealth

'Pantang Mati Sebelum Ajal' Meski Hidup dengan Miastenia Gravis

Penderita penyakit Miastenia Gravis (MGer) memang harus berjuang melawan penyakitnya seumur hidup. Namun meski menderita penyakit langka yang bisa berpotensi mengancam nyawa, bukan berarti pasiennya harus menyerah begitu saja. MGer harus semangat dan hidup dengan hati gembira, serta pantang mati sebelum ajal.

Miastenia Gravis (Myasthenia Gravis/MG) merupakan gangguan autoimun yang merusak paut saraf otot yang mengakibatkan kelemahan otot. Penyebabnya berhubungan dengan gangguan pada sistem kekebalan tubuh atau autoimun.

Pada MG, sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang salah satu jenis reseptor pada saraf otot, sehingga terjadi gangguan pada transmisi saraf-otot, yang berakibat terganggunya kontraksi otot.

Menurut data Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI), ada 226 penderita MG di seluruh Indonesia, 22 diantaranya sudah meninggal dunia dan 7 remisi obat (waktu tidak kambuh penyakit atau rehat minum obat).

10 persen pasien MG yang meninggal dunia kebanyakan disebabkan karena gagal napas akibat penyakit autoimun ini juga bisa menyerang otot dada dan pernapasan.

Gejala awal MG yang khas adalah kelemahan otot yang menyerupai kelelahan. Kelemahan otot ini biasanya dapat membaik jika otot diistirahatkan.

Gejala paling banyak terlihat di otot mata, yaitu kelopak mata tiba-tiba 'jatuh'. MG juga bisa mempengaruhi segala otot di seluruh tubuh, termasuk otot wajah, leher, tenggorokan, lengan atas, paha bahkan yang mengancam jiwa jika mempengaruhi kelemahan pada otot dada yang mengakibatkan gagal napas

Terlalu sedih, stres, kelelahan, marah atau terlalu gembira bisa mengakibatkan penderita MG mengalami kekambuhan bahkan sampai mengalami gagal napas karena saraf-saraf napas tidak bisa bergerak.

Karena merupakan gangguan autoimun, penderita MG atau MGer harus bisa menerima jika penyakit ini ada di tubuhnya seumur hidup. Untuk menghilangkan gejala kelemahan otot, MGer juga selalu membutuhkan obat walaupun bila kondisi sangat baik bisa mengalami masa remisi.

Meski harus berjuang seumur hidup melawan penyakit langka, bukan berarti penderitanya harus menyerah dengan keadaan. 'Pantang mati sebelum ajal' pun dianut oleh Hana Lusiana Gunawan (33 tahun) dan Meifrine (27 tahun).

"Saya terdiagnosis dari umur 4 tahun, bulan Mei nanti saya 27 tahun, jadi sudah 23 tahun hidup dengan MG," ujar Meifrine, salah satu MGer yang ditemuidetikHealth dalam acara Talkshow 'Hidup Berkualitas dan Produktif Dengan Myasthenia Gravis' di Gedung A RSCM, Jakarta, seperti ditulis Senin (16/4/2012).

Meski hampir seumur hidupnya ditemani MG, Meifrine beruntung tak pernah 'mencicipi' ruangan ICU seperti teman-teman MG yang lain.

Kuncinya adalah mengenal diri sendiri dan menghilangkan perasaan negatif. Ia pun rutin melakukan meditasi agar membuat perasaannya tenang dan bisa mengontrol emosi.

"Dulu ada perasaan denial, apalagi saya belum mengenal YMGI, saya baru tahu YMGI ini tahun 2011 lalu. Di lingkungan saya, di rumah di sekolah tidak ada yang MG. Dulu tiap malam saya nangis, kenapa harus saya. Tapi kalau sedih terus penyakit bisa makin parah. Akhirnya saya melakukan meditasi. Karena sering meditasi pun akhirnya saya berani untuk menurunkan dosis obat," jelas perempuan kelahiran Jakarta, 16 Mei 1985 ini.

Kondisi Meifrine kini cukup stabil, tapi tetap harus minum mestinon 4 kali sehari. Mestinon (Pyridostigmine bromide) atau sering disebut 'magic pill' oleh MGer merupakan obat yang digunakan untuk mengobati kelemahan otot pada orang dengan Miastenia Gravis.

Berbeda dengan Meifrine, Hana Lusiana Gunawan justru sudah tidak pernah minum obat lagi sejak tahun 2000, dengan kata lain ia sudah mengalami masa remisi.

"Saya kena MG dari tahun 1997, sekitar usia 18 tahun. Gejala awalnya pelo melafalkan huruf B, P dan D. Terus penglihatan seperti kabur, ada bayangan. Kalau minum air keluar dari hidung. Air liur harus dikeluarkan pakai tangan, tidur tidak bisa telentang dan pernah 10 kali masuk rumah sakit," jelas Hana yang lahir di Tangerang, 3 Agustus 1979.

Menurut Hana, terakhir masuk rumah sakit kondisinya sudah sangat parah. Tapi seperti mendapatkan mukjizat, kondisi Hana benar-benar pulih setelah keluar dari rumah sakit.

"Kalau ditanya mengapa saya bisa remisi, saya bisa bilang itu karena mukjizat Tuhan. Karena waktu itu kondisi saya sudah sangat parah. Saya masuk ICU sudah digotong-gotong gitu, tapi keluar dari sana saya sudah tidak minum obat," lanjut Hana, yang kini bahkan aktif bekerja di sebuah gereja di Beijing.

Setelah keluar dari rumah sakit, pada tahun 2000 hingga 2004 sebenarnya Hana masih merasakan gejala MG, tapi ia tetap merasa yakin bahwa dirinya sehat dan tidak perlu minum obat.

Barulah semenjak tahun 2004 hingga sekarang ia benar-benar tidak merasakan lagi gejala dan merasa dirinya tidak sedang menderita penyakit autoimun MG.

"Kebanyakan yang bikin kambuh itu karena pasien drop mentalnya. Kita harus bisa menerima diri kita sendiri. Pantang mati sebelum ajal. Kalau ada teman-teman yang masih berpikir, 'kapan ya saya bisa remisi?', saya yakin dia tidak akan pernah remisi karena secara tidak sadar otaknya akan terus tertekan," jelas Hana.

Menurutnya, menang terhadap penyakit bukan berarti harus sembuh, tetapi bagaimana bisa tetap berguna dan bisa melakukan apa yang disukai dengan keterbatasan yang dimiliki.

"Walaupun terbatas, waktu di rumah sakit saya melakukan apapun yang yang suka, seperti menggambar. Kuncinya harus bergembira, bersyukur dan mengenali diri sendiri. Jadilah dokter buat diri sendiri," tutup Hana.
_____
Arsip Media
Ditulis oleh Merry Wahyuningsih - DetikHealth

Myasthenia Gravis, Komunitas Kelainan Autoimun

Menilik dari namanya, Myasthenia Gravis merupakan sebuah nama yang masih asing di telinga. Hal ini wajar sebab Myasthenia Gravis adalah sebuah kelainan autoimun yang tergolong langka, dimana antibodi yang diproduksi menyerang otot-otot tubuh penyandangnya sendiri dan dapat menyerang usia berapapun. Karena kelangkaannya itulah banyak masyarakat yang belum mengetahui dan mengenali apa dan bagaimana Myasthenia Gravis mempengaruhi tubuh seseorang.

Otot-otot tubuh yang diserang oleh antibodi akan mengalami kelemahan, mulai dari mata, wajah, tangan, kaki hingga otot pernapasan. Kondisi paling ringan biasanya ditandai dengan melemahnya kelopak mata, dimana kelopak mata turun sehingga terlihat seperti orang mengantuk, atau dapat juga terjadi penglihatan ganda (diplopia). Kondisi lain yang biasa terjadi adalah melemahnya tangan dan kaki, kesulitan menelan, bahkan kesulitan bernapas. Kondisi sulit bernapas ini adalah kondisi terparah bagi MGers (sebutan bagi penyandang Myasthenia Gravis), dan dalam banyak kasus seringkali terjadi gagal napas karena otot pernapasan tak mampu untuk berkontraksi. Keadaan seperti ini disebut dengan krisis myasthenic.

Berawal dari pertemuan beberapa MGers di dunia maya, yang sama-sama membutuhkan sebuah wadah untuk saling berbagi mengenai hal apapun tentang Myasthenia Gravis, akhirnya dibuatlah sebuah mailing list yang anggotanya adalah MGers, keluarga, sahabat, kerabat, dan teman-teman dari MGers itu sendiri pada tahun 2008. Maka terbentuklah komunitas kecil yang anggotanya tersebar dari berbagai daerah di Indonesia. Mailing list ini diramaikan oleh diskusi-diskusi mengenai Myasthenia Gravis, saling bercerita tentang kondisi masing-masing, saling berbagi informasi tentang banyak hal menyangkut MG, bahkan seringkali mailing list digunakan sebagai ajang untuk curhat dan mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada, untuk kemudian saling menguatkan dan membangkitkan semangat satu sama lain.

Semakin hari anggota komunitas makin bertambah. Tak hanya melalui dunia maya dan komunikasi melalui telepon saja, pertemuan pun merambah hingga ke dunia nyata. Dari yang awalnya hanya pertemuan-pertemuan biasa, dimana para MGers makan siang bersama, saling mengunjungi, kontrol bersama di rumah sakit, ataupun mengadakan gathering-gathering yang dijadikan tempat untuk berbagi kisah, semangat, tawa, tangis bahkan berbagi obat. Anggota komunitas pun mulai mengadakan diskusi dan seminar yang melibatkan dokter dan produsen obat. Komunitas ini pun kerap melakukan sosialisasi melalui berbagai media seperti koran lokal maupun nasional, dengan tujuan agar masyarakat mengetahui serta meningkatkan kepedulian terhadap Myasthenia Gravis.

Tak hanya itu, setelah beberapa waktu tertunda, pada tanggal 6 Juni 2011 komunitas ini pun mendirikan sebuah yayasan yang bernama Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI). Yayasan ini dikelola oleh MGers sendiri dan bertujuan dapat membantu MGers dalam banyak hal.

Ide untuk mendirikan sebuah yayasan sebenarnya tercetus jauh sebelum yayasan didirikan. Dikarenakan kesibukan masing-masing dan juga terkendala masalah kesehatan para anggota, maka proses mewujudkan yayasan tersebut hanya menjadi wacana dalam beberapa waktu. Hingga sebuah peristiwa terjadi dimana salah seorang anggota yang cukup aktif menghadiri kegiatan-kegiatan komunitas, terpaksa pulang dari rumah sakit dan akhirnya meninggal pada 13 Maret 2011. Hal itu dilakukan karena biaya yang dibutuhkan cukup besar, meskipun keluarga dan teman-teman dari komunitas sudah berusaha seoptimal mungkin, tetap saja biaya tidak tercukupi. Peristiwa tersebut menjadi bahan bakar bagi komunitas ini untuk benar-benar mewujudkan yayasan yang nantinya diharapkan akan dapat membantu MGers baik secara moril maupun materi.

Bagi saya pribadi, komunitas ini merupakan komunitas orang-orang hebat, sebab dalam keterbatasan pun mereka masih bisa melakukan berbagai hal yang tak jarang memberi inspirasi bagi lingkungan sekitar mereka masing-masing. Di tengah keterbatasan yang ada, ada MGer yang bekerja sebagai guru, dosen, dokter, karyawan, wirausaha, dan masih banyak lainnya. Meski tak ditampik ada sebagian MGers yang tidak mampu berbuat banyak dan hanya menghabiskan waktu di rumah saja. Namun itu pun tak menghalangi mereka untuk tetap bersemangat dalam menjalani kehidupan masing-masing.

Pertautan hati yang cukup kuat, terjalin diantara anggota komunitas ini. Tak heran, bila ada salah seorang dari anggota yang tengah terbaring di rumah sakit dan membutuhkan biaya pengobatan, anggota komunitas akan bekerja sama untuk menggalang dana, meskipun banyak diantaranya yang juga membutuhkan biaya. Tak jarang, sesama anggota saling membantu dengan berbagi obat-obatan, informasi pengobatan, rumah sakit, dokter, dan apapun yang terkait dengan Myasthenia Gravis. Semua dilakukan dalam sebuah ruang lingkup yang sudah seperti lingkungan keluarga sendiri.

Myasthenia Gravis adalah sebuah penyakit yang membutuhkan dana cukup besar. Sebagian besar penyandangnya harus mengkonsumsi obat-obatan rutin setiap hari dan terkadang memerlukan treatment khusus lainnya yang menghabiskan dana belasan hingga ratusan juta rupiah. Treatment-treatment itu diantaranya adalah Plasmapheresis dan IVIG (Intravenous Immunoglobulin). Plasmapheresis adalah penggantian plasma darah yang sudah tercemar antibodi yang tidak sehat dengan cairan bernama albumin. Sedangkan IVIG adalah sebuah treatment memasukkan antibodi sehat ke dalam tubuh MGer itu sendiri. Ada kalanya MGers harus menjalani Thymectomy, operasi pengangkatan kelenjar thymus. Hal ini dilakukan apabila kelenjar thymus mengalami pembesaran, sebab pada banyak kasus penyandang Myasthenia Gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus. Walaupun terkadang treatment-treatment tersebut pun tak memberikan perubahan apa-apa terhadap MGers.

Saat ini, semakin hari makin banyak ditemukan penyandang Myasthenia Gravis yang menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Untuk itulah komunitas ini menyadari bahwa sosialisasi tentang Myasthenia Gravis harus semakin digiatkan. Dengan harapan agar masyarakat dapat lebih peduli terhadap Myasthenia Gravis, karena kelainan autoimun ini dapat menyerang segala lapisan usia dan dari kalangan mana saja.

Meski kerap dihadang oleh kondisi fisik yang terbatas, para anggota komunitas masih terus berusaha semampu mereka untuk terus bersama-sama memperjuangkan hal-hal terbaik khususnya bagi para MGers itu sendiri. Dan diharapkan pula para penyandang Myasthenia Gravis dapat memperoleh kemudahan-kemudahan untuk menjalani pengobatan, serta mendapat dukungan dan perhatian penuh dari pemerintah. Perjuangan komunitas ini bersama dengan yayasannya masih panjang, namun ada harapan besar yang tengah menanti mereka. Semoga segala perjuangan yang telah ditempuh, kelak memberikan hasil yang dapat dinikmati oleh seluruh anggota komunitas ini dimanapun mereka berada, sesuai dengan motto yang selalu mereka bawa “MG Can’t Stop Us”. (Nilla Gustian/Arn)
____
Arsip Media
Ditulis oleh Nilla Gustian - Liputan6

Masyarakat Indonesia Mulai Terjangkiti Penyakit Langka

Penyakit tersebut bernama miastenia gravis (MG) yang berhubungan dengan sitem kekebalan tubuh.

Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia mengungkap, fenomena gunung es bisa terjadi pada masyarakat dalam kemungkinan perkembangan penyakit langka terkait kekebalan tubuh yaitu miastenia gravis (MG) di Indonesia.

"Kami mengibaratkan hal itu karena yang terlihat di atasnya saja, dan penyakit itu datang secara tiba-tiba," kata Ketua YMGI, Eko M Walid, usai seminar bertema "Hidup Berkualitas dan Produktif dengan myasthenia gravis" di Jakarta, Minggu (15/4).

MG merupakan penyakit dimana sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh justru menyerang organ-organ tubuh terutama pada sistem sambungan syaraf.

Di Indonesia sendiri, menurut perkiraan Eko, jumlah penderita MG yang terdaftar di Indonesia saat ini sebanyak 226 orang, namun diperkirakan jumlah penderitanya melebihi dari jumlah itu.

"Di Bandung, data yang kami peroleh baru sebanyak 35 orang, namun melalui pemeriksaan salah satu panitia jumlahnya cukup mencengangkan yakni melebihi 100 orang," ucap dia.

Pada seminar itu, ahli dari Departemen Psikiatri FKUI-RSCM, Natalia W Raharjanti, mengemukakan, MG ditandai kelemahan dan kelelahan cepat dari setiap otot yang digerakkan secara refleks.

"Penyebab MG adalah gangguan komunikasi normal syaraf dan otot. Pengobatan dapat membantu meringankan tanda dan gejala, seperti kelemahan otot lengan atau kaki, penglihatan ganda, kelopak mata terkulai, dan kesulitan berbicara, mengunyah, menelan dan bernapas," katanya.

Lebih lanjut, Raharjanti menyatakan, keterlambatan penanganan penyakit MG akan mengakibatkan krisis miastenia. Ditandai dengan kelemahan otot yang diperlukan untuk pernapasan sehingga dapat mengakibatkan kematian.

"Kasus ini dapat menyerang siapa saja, anak-anak, dewasa hingga usia lanjut. MG berkembang dari kelemahan ringan menjadi kelemahan berat, dari otot okular sampai pernafasan terutama dalam tiga tahun pertama," katanya.

Pada penderita MG, lanjut Natalia, sel antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan syaraf yang mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari syaraf satu ke syaraf lainnya.

Ia memaparkan, salah satu obat MG yakni corticosteroid dan immunosuppressant, kortikosteroid prednisone dan immunosupresant, bisa digunakan untuk menekan reaksi tidak normal sistem kekebalan karena MG.

Pada kasus yang berat, obat tersebut dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.

"Apabila sudah ada perbaikan klinis, maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif," katanya.

Anggota YMGI, Hana L Gunawan, mengatakan, penderita MG tidak boleh merasa terlalu sedih maupun senang.
____
Arsip Media
BeritaSatu