Seorang pria paruh baya bernama Ramon Sampedro, menghabiskan sisa hidupnya terbaring di tempat tidur, sepanjang hari. Ia tak bisa melakukan kegiatan apapun, hanya bisa berbicara dan menoleh ke kanan atau kiri. Kondisi ini akibat kecelakaan yang dialaminya sewaktu ia remaja, sehingga mengalami lumpuh total.
Apa yang dialami Ramon Sampredo, terjadi dalam film Sea Inside (2004). Kita tidak akan membahas pe- nyebab lumpuh totalnya, tapi, kita akan membahas penyakit yang bisa menyebabkan kelumpuhan total seperti yang dialami Ramon dalam Sea Inside, myasthenia gravis (MG). Nama penyakit ini mungkin tidak terlalu familiar di telinga. Namun, Anda perlu mengetahui bahayanya.
MG termasuk salah satu penyakit autoimun. Ini merupakan sistem imun yang menyerang syaraf, dan termasuk autoimun kronis transmisi neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Dalam bahasa latin, myasthenia berarti kelemahan otot, dan gravis berat atau serius.
Berbeda dengan lupus yang menyerang kulit dan seluruh organ tubuh. MG menyerang otot. Sehingga, penderitanya tidak bisa menggerakkan otot tubuh yang diserang. Biasanya paling banyak menyerang otot wajah (terutama pada mata). Tapi juga bisa meyerang otot-otot yang lain, seperti menelan, mengontrol gerakan, dan pernapasan/ paru-paru. Atau, otot-otot pada seluruh bagian tubuh sekaligus. Dan jika ini terjadi, penderita akan lumpuh total.
Secara singkat, dr. Retnaningsih SpS KIC, ahli syaraf RSUP DR Kariadi Semarang menjelaskan bagaimana otak memerintahkan jaringan untuk meggerakkan anggota badan. Sistem kerja otak yang memerintahkan syaraf untuk menggerakkan anggota tubuh, syaraf mengeluarkan neurotransmitter asetilkolin, yang kemudian diterima reseptor, baru kemudian kita bisa bergerak. Nah, orang yang menderita MG, asetilkolin di-’blok’ oleh autoimun, sehingga asetilkolin tidak bisa diterima reseptor.
Jadi, penderita bisa mengetahui ketika penyakitnya ini akan ’kambuh’. Karena penderita tidak langsung lemas (ototnya), tapi melemas secara perlahan. Gejalanya secara umum, jika seseorang terserang MG, ia akan merasa seperti mengantuk, lalu akhirnya tidak bisa menggerakkan kelopak mata. Menurunnya kelopak mata ini disebut ptosis. Bisa juga mengalami penglihatan ganda atau diplopia.
Jika menyerang otot menelan/ tenggorokan, penderita akan sulit menelan, sulit berbicara; suara menjadi sengau atau berbicara menjadi cedal. Jika yang diserang otot yang membantu pernapasan, penderita akan mengalami napas yang pendek, sulit menarik napas secara dalam, hingga gagal napas yang membutuhkan ventilator. Gagal napas dan keadaan lumpuh total (akibat MG menyerang seluruh otot tubuh) ini merupakan myasthenia crisis. Pada kasus yang lain, jika menyerang beberapa otot (bukan seluruhnya), seperti bahu, panggul, sendi, penderita seperti tiba-tiba merasa capek luar biasa, kelelahan sepanjang hari seperti tenaga/ energi telah terkuras habis. Keadan seperti ini berlangsung dalam hitungan menit hingga satu jam. Dan akan pulih setelah badan istirahat secara total. Yang turut memperparah atau memicu, selain badan yang kecapekan, jika penderita mengalami stres, kepanasan, sedang dalam masa hamil, paska operasi atau infeksi.
"Pada saat tertentu asetilkolin bisa diterima, namun pada gerakan repetitif, otot mulai melemah sampai akhirnya tidak bisa menggerakkan anggota badan," papar dr Retnaningsih. Jadi, pada gerakan pertama dan kedua masih kuat, gerakan ketiga mulai berat, dan gerakan seterusnya semakin berat dan akhirnya tidak bisa menggerakkan anggota tubuh sama sekali.
Terkadang, MG dikaitkan dengan tumor pada rongga thymus, yang dianggap sebagai pemicu penyakit yang langka ini. Pada pasien, thymus membengkak atau menjadi tumor, dan ini harus diangkat melalui operasi. Setelah itu, MG bisa ’dikendalikan’. Ya, karena MG merupakan penyakit genetik autoimun, ia tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikontrol.
Konsumsi Obat-obatan
Bagaimana caranya? Yakni dengan mengonsumsi obat-obatan. Obatobatan ini bertujuan untuk memperbaiki neurotransmitter atau neuromuscular junction. Golongan yang pertama, misalnya jenis mestinon, berfungsi untuk ’memperbolehkan’ asetilkolin tinggal di persimpangan neuromuskular lebih lama dari biasanya, sehingga lebih banyak tempat penerimaan yang bisa diaktifkan.
Kedua, jenis prednisone atau imuran, digunakan untuk menekan reaksi tidak normal dari sistem imun/ menekan steroid yang terjadi pada MG. Ketiga, dengan immunoglobin, yang merupakan pemberian sistem imun dari luar (badan). Immunoglobin dimasukkan melalui pembulu darah, untuk menghasilkan perbaikan yang lebih cepat. Namun, untuk melakukan pengobatan ini biayanya tidak sedikit. Untuk satu kali suntikan, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 15 juta. Padahal butuh lima hari untuk total pengobatannya.
Keempat, terapi yang berfungsi sebagai penukaran plasma, atau plasmapheresis. Cara ini mirip proses ’cuci darah’ pada orang yang mengalami gagal ginjal. Plasmapheresis mengangkat antibodi tidak normal dari plasma darah. Beberapa liter darah diangkat dari pembuluh darah ke dalam plasma tiruan, dan dilakukan secara berulang selama dua minggu, jika kondisi pasien termasuk parah, misalnya mengalami krisis pernapasan, atau sebelum menjalani pembedahan atau penyinaran. Sekali melakukan terapi ini juga membutuhkan biaya yang cukup mahal, yakni sekitar Rp 4 juta. Pengobatan terakhir, yang sudah disinggung sedikit di atas, yakni pembedahan untuk mengangkat kelenjar thymus, atau thymectomy.
Kelenjar yang merupakan bagian terpenting dari sistem imun ini, terletak di belakang tulang dada. Kelebihan dari thymectomy, manfaatnya lebih bersifat jangka panjang. Pada beberapa kasus yang berhasil, terjadi pengurangan kebutuhan untuk meneruskan pengobatan medis. Namun, untuk melakukan pembedahan ini, tak cukup hanya dengan tenaga profesional. Namun harus dilakukan di rumahsakit yang sudah terbiasa melakukan dan memiliki staf berpengalaman yang memahami teknik pembedahan thymectomy.
____
Arsip Media
Ditulis oleh Irma Mutiara Manggia - SuaraMerdeka