Kenali Gejala Kelainan Neurologis

PENYAKIT akibat kelainan neurologis apa pun penyebabnya, umumnya memiliki gejala klinis yang hampir sama, termasuk guillain barre syndrome (GBS) dan myasthenia gravis (MG). Kedua penyakit ini mulai sering ditemukan.

Belakangan ini, kasus penyakit GBS dan MG semakin sering terjadi. Jika sudah menyerang manusia, penyakit kelainan neurologis ini akan mengganggu mobilisasi berat pasien pada orang dalam masa produktif. Apalagi, jumlah penderitanya semakin lama semakin meningkat setiap tahunnya.

Pada periode 2010–2011, data jumlah penderita GBS di RSCM sebanyak 48 kasus dari berbagai varian. Sementara prevalensi MG diperkirakan sekitar 0,5–14,2 kasus per 100.000 orang. Prevalensi autoimun MG diperkirakan 1 kasus dari 10.000–20.000 orang. Data di RSCM selama periode 2010–2011 menunjukkan terdapat 94 kasus MG.

”Berbagai bentuk klasifikasi GBS dan MG yang berbeda memiliki perjalanan klinis,harapan pemulihan, dan pengobatan yang berbeda,” kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) Cabang Jakarta, dr Darma Imran SpS(K) saat temu media dalam rangka simposium bertema Peripheral Nerve Disorder Symposium Focus on Guillain-Barre and Myasthenia Gravis di Hotel Mulia, Jakarta.

Darma menuturkan, kasus GBS dan MG memang tidak tinggi frekuensinya. Penyakkit ini juga dapat sembuh sempurna dengan diagnosis dini. Pasien dengan keluhan kelumpuhan dan kelainan neurologi lainnya harus segera diperiksa oleh dokter spesialis saraf.

”Pemeriksaan klinis dan menggunakan alat elektrodiagnostik yang dikerjakan oleh dokter spesialis saraf dapat membedakan berbagai keluhan neurologi yang mirip,” ucapnya.

Dr Manfaluthy Hakim SpS (K), Kepala Divisi Neurofisiologi Klinik dan Penyakit Neuromuskular, Departemen Neurologi FKUI-RSCM menjelaskan, GBS merupakan gangguan imunologi yang menyebabkan kelainan saraf perifer sehingga terjadi kelumpuhan ekstremitas secara asenden dan simetris. GBS merupakan salah satu gangguan neuroimunologi yang menjadi penyebab tersering paralisis flacidsetelah era penyakit polio.

Gejala awal pasien GBS, lanjut dia, adalah rasa kesemutan yang menjalar mulai ujung-ujung jari tangan dan kaki, hingga menyebar ke bagian tubuh lain yang pada akhirnya menyebabkan kelumpuhan.

”Untuk mendiagnosis penyakit GBS, selain dengan gejala yang timbul dan analisa cairan otak, juga dilakukan pemeriksaan EMG dan kecepatan antar saraf di mana akan memberikan informasi pada awal gejala penyakit,” sebut Manfaluthy.

Sementara, MG adalah gangguan autoimun yang merusak paut saraf otot yang mengakibatkan kelemahan otot. Penyebabnya berhubungan dengan gangguan pada sistem kekebalan tubuh. Pada pasien MG, sistem kekebalannya menghasilkan antibodi yang menyerang salah satu jenis reseptor pada paut saraf otot sehingga terjadi gangguan pada transmisi saraf-otot, yang berakibat terganggunya kontraksi otot.

Manfaluthy mengemukakan, gejala MG secara umum adalah berupa kelemahan yang hilang timbul, kelemahan timbul saat lelah dan membaik setelah beristirahat atau saat bangun tidur. Pasien akan merasakan menurunnya kelopak mata pada salah satu mata atau kedua mata dan penglihatan ganda. Pada jenis MG umum, pasien merasakan kelemahan pada sebagian besar otot tubuh.

“MG perlu mendapat perhatian serius karena sekitar 15–20% pasien mempunyai risiko mengalami episode krisis miastenia yang mengancam jiwa dalam dua tahun setelah terdiagnosis,” ungkapnya.

Pemulihan, perbaikan, dan outcome pasien kelainan neurologis ditentukan oleh kecepatan dalam memberikan terapi. Dengan demikian, perlu menegakkan diagnosis sedini mungkin. Jenis terapi yang direkomendasikan pada pasien GBS saat ini adalah dengan pemberian intra vena imunoglobulin (IvIG) dan plasmapharesis (pengambilan antibodi yang merusak dengan jalan penggantian plasma darah). Pada terapi pasien MG, diketahui bahwa gejala MG selain diduga berhubungan dengan penyakit autoimun, juga berhubungan dengan kelenjar thymus yang seharusnya akan menghilang setelah melewati masa anak-anak.

Pada beberapa orang, kelenjar thymus persisten akan tumbuh menjadi suatu bentuk tumor yang jinak (timoma). Pada pasien MG dengan timoma, dianjurkan untuk dilakukan operasi pengangkatan tumor tersebut, selain minum obat yang teratur sesuai anjuran dokter. Jenis obat yang biasa diminum adalah pyridostigmin bromide dalam bentuk tablet. Selain itu, pasien MG juga harus memperhatikan beberapa faktorfaktor yang dapat memperberat gejala seperti kelelahan akibat aktivitas fisik yang berlebihan, udara yang sangat panas, dan lain-lain.

Darma mengatakan, kendala penanganan GBS dan MG adalah biaya pengobatannya yang relatif mahal. Sampai saat ini, asuransi pemerintah dan swasta belum mau menanggung perawatan kedua penyakit ini secara lengkap.

”Untuk IvIG misalnya,setiap sekali pemberian biayanya sekitar Rp20 juta hingga Rp25 juta per hari,” tutupnya.
____
Arsip Media
Ditulis oleh SINDO - Okezone